Monday, July 21, 2025

Cinta yang Tak Butuh Panggung


Suasana aula sore itu penuh dengan semangat. Suara MC mengisi udara, memanggil satu per satu nama santri yang meraih prestasi terbaik—dari yang tercepat dalam menghafal, teraktif mengikuti kegiatan, hingga yang paling rajin dan disiplin. Tepuk tangan riuh menyambut setiap nama yang disebut, sorot lampu panggung menyorot wajah-wajah penuh bangga.

Saya ikut bertepuk tangan, tentu saja. Tapi dalam hati kecil, saya menunggu satu nama. Nama anak saya. Barangkali akan disebut di bagian akhir, mungkin akan ada kejutan kecil yang membuat saya bangga luar biasa. Tapi sampai sesi itu usai, namanya tak terdengar. Tak ada pujian yang mengarah padanya. Ia bukan yang tercepat, terbaik, atau teristimewa menurut daftar.

Ada rasa kecewa. Sekilas, ada desir halus yang menyentuh ego saya sebagai orang tua. Mungkinkah ia tidak cukup menonjol? Tidak cukup berusaha? Atau saya yang terlalu berharap?

Acara berlanjut dengan penampilan seni. Anak saya ikut tampil bersama kelompoknya. Saya berusaha mencari sosoknya di atas panggung. Ia ada di sana—ya, saya menemukannya—di barisan paling belakang. Tak berada di tengah, tak memegang peran utama. Hanya menjadi bagian dari gerakan kompak yang nyaris tak terlihat penonton.

Saya menahan napas. Rasanya hati ini kembali teriris. Anak saya ada, tapi seperti tidak benar-benar hadir.

Namun, di tengah riuh tepuk tangan dan mata yang mencari sorotan utama, saya mendadak tersentak oleh sebuah kesadaran. Cinta orang tua seharusnya tak butuh panggung.

Anak saya mungkin bukan yang tercepat menghafal, bukan yang paling disiplin dicatat sekolah. Tapi saya tahu ia bangun pagi setiap hari, menaklukkan rasa malas, melawan kantuk saat harus bangun sebelum subuh, dan menjaga sikap agar tetap sopan. Ia ikut semua kegiatan—bukan karena ingin pujian, tapi karena ingin menjadi bagian dari proses itu sendiri. Dan bukankah itu juga sebuah prestasi?

Berjuang menjadi anak baik di dunia yang makin bising dan penuh distraksi, adalah pencapaian. Berusaha menundukkan keinginan, mengikuti peraturan pesantren, tidak membangkang, itu adalah bentuk kemenangan yang tak selalu disebut dari panggung.

Saya belajar, hari itu, untuk mencintai anak saya tanpa syarat-syarat duniawi. Tanpa mengaitkan cinta dengan ranking, posisi, atau pengakuan dari orang lain. Ia mungkin tidak masuk daftar terbaik versi sekolah, tapi ia masuk dalam daftar doa-doa panjang saya setiap malam.

Saya tidak ingin anak saya tumbuh dengan tekanan untuk selalu terlihat hebat. Saya ingin ia tumbuh dengan keyakinan bahwa ia dicintai, bahkan saat tidak ada yang menyorotnya. Bahwa dalam setiap usahanya—yang kadang kecil, sunyi, dan tak terlihat—ada mata saya yang melihat, dan hati saya yang bangga. Karena tidak semua cinta harus diumumkan dari atas panggung.

Ada cinta yang bekerja diam-diam, yang tak membutuhkan sorotan, tapi nyata dalam pelukan, dalam kesabaran menunggu anak tumbuh dengan caranya sendiri, dan dalam keteguhan hati untuk tetap mencintai, apa pun dan siapa pun ia hari ini.

Sunday, July 20, 2025

Kapal Tak Ditakdirkan untuk Dermaga

 

Di suatu pelabuhan tua, sebuah kapal kayu terdiam. Badannya utuh, catnya mulai pudar dimakan waktu, tapi tak ada satu lubang pun di lambungnya. Ia aman. Ia selamat. Tapi tak pernah ke mana-mana. Kapal itu tak pernah mengarungi laut. Tak pernah tahu riuhnya badai, kerasnya ombak, atau arah angin yang menantang. Ia hanya berdiam, terpajang seperti artefak masa lalu. Mungkin ia bangga tak pernah bocor, tapi juga tak punya kisah untuk diceritakan. Lalu aku berpikir, bukankah banyak dari kita hidup seperti kapal itu?

Kita memilih dermaga—tempat aman, rutinitas nyaman, jalur paling datar. Kita lupa, bahwa sebagaimana kapal yang diciptakan untuk berlayar, kita pun diciptakan untuk mengarungi samudra kehidupan—penuh risiko, tantangan, tapi juga pertumbuhan.

Kapal tak pernah dimaksudkan untuk disimpan. Ia dirancang untuk melawan angin, menembus badai, dan menemukan pelabuhan-pelabuhan baru. Demikian pula manusia. Kita tak diciptakan hanya untuk nyaman, bertahan, dan diam. Kita hadir ke dunia untuk menghidupkan potensi, memikul tanggung jawab, dan menjawab panggilan makna.

Sebagaimana kapal tak boleh takut pada ombak, manusia tak seharusnya takut pada kegagalan. Karena hidup yang sejati bukan tentang selamat dari semua luka, tapi tentang bagaimana kita bangkit, belajar, dan bertumbuh darinya. Dermaga itu nyaman. Tapi terlalu lama bersandar membuat kita lupa bahwa kita bisa melaju lebih jauh.

Ketika kita terlalu takut untuk melangkah, kita justru menyia-nyiakan daya cipta dalam diri. Takut gagal, takut tak diterima, takut berbeda—semua itu menjadikan kita penonton dari hidup kita sendiri. Kita jadi seperti kapal mewah yang tak pernah meninggalkan pelabuhan. Padahal, tak ada pelaut hebat yang lahir dari laut yang tenang.

Setiap kita dilengkapi dengan “mesin” dan “kemudi” kehidupan. Yaitu akal, hati, iman, intuisi. Tapi semua itu tak berarti jika kita tak berani bergerak. Mungkin hari ini kita sedang berada di dermaga—menimbang, ragu, dan bertanya: “Apa aku siap?” Kenyataannya adalah, tidak ada yang benar-benar siap. Tapi kita tetap bisa melangkah.

Sesungguhnya hidup ini bukan tentang menghindari badai, tapi tentang menjadi cukup kuat untuk menghadapinya. Tere Liye mengatakan bahwa "Hidup bukan tentang menunggu badai reda, tetapi tentang belajar menari di tengah hujan"

Dari analogi tadi saya jadi mengerti mengapa para nabi yang disebut sebagai kekasih Allah, justru mendapat tantangan yang besar dalam kehidupan? bukankah mudah saja bagi Allah untuk menghindarkan kekasih-Nya dari berbagai penderitaan? Tetapi semakin berat ujian dan tantangan yang dihadapi seorang nabi Allah, semakin tinggi derajatnya. Demikianlah tugas mereka dalam kehidupan. Para kekasih Allah dilahirkan bukan untuk diamankan dari tantangan dan persoalan, justru mereka diciptakan untuk menghadapi berbagai persoalan kehidupan.

Sebagai muslim, paling sedikit tujuh belas kali dalam setiap hari, kita membisikkan ayat ke dalam diri "tunjukilah kami ke jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat". Pertanyaannya, siapakah yang Allah beri nikmat? tentu saja jalan orang-orang yang menjadi kekasih-Nya, yaitu jalan terjal para nabi dan orang-orang sholeh, perjalanan hidup yang telah mereka lalui penuh perjuangan. Tidak ada cerita istirahat dalam sejarah hidup mereka. Itulah yang selalu kita minta, untuk itulah kita diciptakan, bukan untuk diam di tempat nyaman, tetapi untuk menjalankan misi dan peran, menjadi khalifah di muka bumi, pembelajar sepanjang hayat, pencipta kebaikan bagi sesama.

Mari kita pikirkan, kapan terakhir kali kita merasa benar-benar hidup? apakah saat nyaman atau saat tertantang? Tugas manusia bukan menjadi sempurna, tapi menjadi bermakna. Kita tidak dituntut untuk selalu menang, tapi untuk terus mencoba. Karena hanya mereka yang berlayarlah yang akan tahu arah angin, membaca bintang, dan akhirnya sampai pada tujuan. Kapal yang bersandar memang tak akan karam. Tapi ia juga tak pernah akan punya cerita. Tak akan ada lagu tentang pelayarannya. Tak akan ada peta yang bisa ia tunjukkan.

So, berlayarlah! Meski perlahan, meski takut. Karena kita tak ditakdirkan untuk dermaga. Kita diciptakan untuk lautan.

Ketika Hijab Menjadi Budaya: Refleksi Sosial di Negeri Muslim Terbesar

Di lingkungan tempat tinggalku, perempuan berhijab adalah pemandangan yang lumrah, walaupun kesehariannya di sekitar rumahnya seringkali tanpa hijab. Namun, fenomena yang menarik adalah setiap kali tetanggaku hendak ke kota—entah ke mall, bank, atau kantor pemerintahan—hampir semuanya tiba-tiba mengenakan hijab. Begitu kembali ke rumah, hijab dilepas, disampirkan di pundak, atau ditinggal dalam tas. Di saat lain, aku melihat seorang pengemis mengenakan hijab dan gamis lusuh, duduk di pinggir trotoar sambil mengulurkan tangan. Lalu di layar televisi, seorang narapidana korupsi tampil di ruang sidang dengan kerudung rapi dan wajah penuh penyesalan. Satu pertanyaan menari-nari di benakku: Apakah hijab hari ini masih makna, atau sudah berubah menjadi budaya?

Hijab, dalam pengertian asalnya, adalah perintah agama yang dimaksudkan sebagai bentuk kepatuhan dan kesadaran spiritual. Namun dalam dinamika masyarakat Indonesia hari ini, hijab tampaknya telah berkembang menjadi sesuatu yang lebih luas: sebuah simbol budaya, norma sosial, bahkan fashion populer.

Budaya, kata antropolog besar Indonesia Koentjaraningrat, adalah sistem nilai, simbol, dan praktik hidup yang diwariskan serta dihidupi oleh sekelompok manusia. Dalam pengertian ini, hijab yang dikenakan bukan semata karena kesadaran beragama, tapi juga karena ia telah menjadi bagian dari norma sosial. “Budaya adalah hasil interaksi manusia dengan nilai dan simbol,” tulisnya dalam Pengantar Ilmu Antropologi. “Ketika hijab dikenakan tanpa pemaknaan religius, ia sedang memainkan peran simbolik dalam budaya.”

Maka tak heran jika kita menemukan banyak orang mengenakan hijab bukan karena perintah iman, melainkan karena konteks sosial menuntutnya. Hijab menjadi "kostum kepatutan", semacam perisai dari penghakiman publik. Ia menenangkan masyarakat. Ia merapikan tampilan luar.

Fenomena ini bukan tanpa sejarah. Indonesia adalah negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, namun wajah keislamannya sangat majemuk. Islam datang ke Nusantara lewat jalan damai, dengan penyesuaian budaya yang kuat. Di Jawa, seperti yang diteliti oleh Clifford Geertz dalam The Religion of Java, Islam bersanding dengan kepercayaan lokal, membentuk sistem sosial yang lentur.

Dalam masyarakat yang demikian, hijab pun mengalami transformasi makna. Ia bukan lagi semata identitas religius, tetapi juga identitas sosial. Semacam “tanda” bahwa seseorang adalah bagian dari komunitas yang sopan, salehah, dan dapat dipercaya. Geertz mencatat, “Simbol agama bisa berubah fungsi menjadi simbol status, moralitas, atau bahkan alat perlindungan sosial.” Maka di ruang sidang, narapidana mengenakan hijab untuk membingkai penyesalan. Di tempat umum, hijab bisa meredam tatapan dan penghakiman. Di kota, hijab adalah kode sosial bahwa seseorang “tahu tempat”.

Tidak bisa diabaikan pula peran industri fashion muslim yang semakin berkembang. Dari gamis kekinian, kerudung pashmina berlayer, hingga modest wear yang ditampilkan dalam ajang internasional—semuanya membentuk persepsi baru bahwa hijab adalah bagian dari gaya hidup. Banyak perempuan muda mengenakan hijab bukan karena kesadaran beragama yang mendalam, tetapi karena pengaruh media, selebgram, dan tren.

Pakar cultural studies Stuart Hall menjelaskan bahwa “Identitas kultural seringkali dibentuk melalui simbol visual, dan pakaian adalah simbol paling kuat di antara semuanya.” (Representation: Cultural Representations and Signifying Practices). Maka hijab pun tak lepas dari arena representasi ini. Ia dipakai, difoto, dibagikan, ditiru. Menjadi semacam bahasa budaya.

Apakah ini salah? Tidak serta-merta. Budaya bisa menjadi jalan masuk menuju pemahaman yang lebih dalam. Seorang perempuan yang awalnya memakai hijab karena lingkungan, bisa saja di kemudian hari menemukan maknanya dan memutuskan untuk terus menjalaninya dengan kesadaran. Tapi di sisi lain, kita juga patut bertanya: bagaimana jika hijab berhenti sebagai simbol spiritual dan hanya menjadi formalitas sosial?

Di sinilah pentingnya pendidikan dan perenungan. Sebab pakaian bukan sekadar penutup tubuh, tetapi juga cermin dari kesadaran. Ketika hijab hanya menjadi budaya, kita berisiko kehilangan makna aslinya. Namun ketika budaya dikembalikan ke nilai, hijab bisa menjadi jembatan antara kesalehan personal dan tanggung jawab sosial.

Sebagai perempuan yang tumbuh di tengah masyarakat Muslim, aku memahami bahwa hijab bukan sekadar pilihan, melainkan juga beban sosial. Tak semua yang berhijab taat, dan tak semua yang belum berhijab lalai. Tapi satu hal yang kurenungi: saat kita mengenakan hijab, kita sedang berbicara kepada dunia. Pertanyaannya adalah: apa yang sedang kita sampaikan?

Hijab bisa menjadi jubah kepura-puraan, atau jubah penghormatan. Bisa menjadi tekanan, atau kesadaran. Maka mari kita jujur pada diri sendiri. Jika berhijab, biarlah karena cinta, bukan karena takut dilihat salah. Dan jika belum berhijab, biarlah tetap menjaga diri dan hati, sambil terus mencari cahaya.

Sebab berhijab bukan akhir pencarian, melainkan mungkin justru awal perjalanan.


REFERENSI

Geertz, Clifford. The Religion of Java. University of Chicago Press, 1960.

Hall, Stuart. Representation: Cultural Representations and Signifying Practices. Sage Publications, 1997.

Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta, 2009.

Thursday, July 17, 2025

Esok itu Fiksi: Waktu Kita adalah Sekarang


Pagi itu, seperti pagi-pagi lainnya, aku menunda lagi alarm yang pertama berbunyi. Lalu alarm kedua, ketiga, hingga akhirnya aku terbangun dengan sedikit penyesalan. Bukan karena kesiangan, tapi karena menyadari satu hal kecil: betapa mudahnya aku menunda. Padahal, waktu tak pernah menungguku. Waktu tak pernah membantah ketika aku memilih menunda, ia hanya terus berjalan. Tanpa suara. Tanpa penanda. Tanpa bisa diputar ulang.

Kita sering berkata, "Nanti saja," seolah kita tahu pasti bahwa nanti itu akan datang. Padahal, siapa yang bisa menjamin? Hari esok, bagi kita, hanyalah asumsi. Ia belum nyata, belum hadir, dan mungkin tak pernah ada. Tapi hari ini—ya, hanya hari inilah yang benar-benar nyata. Detik ini. Napas ini. Kesempatan ini.

Waktu adalah anugerah yang paling adil dibagikan, tapi paling sering diabaikan. Tak peduli siapa kita—kaya atau miskin, pintar atau biasa saja—kita semua mendapat jatah 24 jam sehari. Tapi penggunaannya? Itu urusan kita. Waktu tak bisa kita simpan, tak bisa kita tambah, dan tak bisa kita ulang. Ia lewat begitu saja, dan tak akan pernah kembali. Waktu itu seperti es balok, dipakai atau tidak ia pelan-pelan mencair.
Bahkan, tak semua yang berharga bisa dihitung. Kita bisa menghitung menit, jam, atau hari, tapi tidak bisa menghitung berapa banyak peluang baik yang hilang karena sebuah penundaan.

Penundaan itu seperti utang. Awalnya kecil, tapi menumpuk. Kita menunda mengerjakan tugas, menunda meminta maaf, menunda mulai hidup sehat, menunda mendekat pada Tuhan. Kita tahu itu penting, tapi entah kenapa, sering kali "nanti saja" terasa lebih nyaman diucapkan daripada "sekarang juga".

Saya menulis ini karena saya pun pelakunya. Saya tahu menunda itu merugikan, tapi tetap saja melakukannya. Mungkin karena merasa masih punya waktu. Padahal, siapa yang bisa menjamin?

"Menunda itu seperti mencicil kehilangan," kata seorang teman. Dan saya mengamininya sepenuh hati.

Suatu hari, saya membaca kembali hadis yang sudah sering didengar, tapi kali ini terasa seperti tamparan lembut:

"Gunakan lima perkara sebelum lima perkara: masa mudamu sebelum datang masa tuamu, masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu, masa kayamu sebelum datang masa miskinmu, waktu luangmu sebelum datang masa sibukmu, dan hidupmu sebelum datang matimu." (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi)

Hadis ini terasa begitu nyata dalam kehidupan sehari-hari. Kita muda, tapi tak sadar kalau itu hanya sementara. Kita sehat, tapi abai menjaga tubuh. Kita punya waktu, tapi malah membunuhnya dengan hal-hal sia-sia. Kita hidup, tapi belum sungguh-sungguh menjalani hidup.

Betapa banyak orang yang baru sadar akan berharganya waktu justru ketika semuanya telah berubah. Ketika sehat telah digantikan sakit, ketika sibuk menyita seluruh ruang, atau ketika kesempatan sudah tertutup rapat oleh waktu yang tak bisa kembali.

Hari kemarin hanyalah kenangan, hari esok masih misteri. Hanya hari ini yang nyata. Jika kita ingin berubah, memperbaiki, memulai, maka mulailah hari ini. Jangan tunggu esok, karena esok itu fiksi. Yang nyata adalah sekarang.

Jika hari ini kita tersadar, maka hari ini pula kita bisa memilih untuk bertindak. Jangan sampai kita menjadi orang yang berkata, "Andai saja waktu bisa diputar ulang."
Saya menulis ini bukan untuk menggurui. Ini catatan untuk diri saya sendiri—agar saya tak terus menunda, agar saya lebih menghargai detik demi detik yang Allah beri. Karena saya tahu, waktu itu akan pergi, apakah saya siap atau tidak.

Saya tak tahu sampai kapan usia ini. Tapi saya tahu, selama waktu masih ada di tangan saya, maka saya harus menjaganya. Harus menggunakannya. Harus mencintainya. Sebab waktu adalah hidup itu sendiri. Dan hidup—tak pernah menunggu.


Wednesday, July 16, 2025

Setiap Kita adalah Pemimpin


Pernahkah kita merasa lelah karena terus menerus mengatur orang lain? Sebagai bos, kita berusaha agar anak buah menjalankan apa yang kita perintahkan. Sebagai atasan terkadang lelah saat rencana yang telah dibuat untuk mereka jalankan, tetapi tidak dikerjakan sesuai dengan ekspektasi. Kita sibuk mengatur orang lain, tetapi ternyata kita lupa mengatur diri sendiri.

Atau sebaliknya, kita merasa menjadi orang yang tidak penting karena tidak memiliki jabatan. Sebagai bawahan yang menunggu perintah atasan untuk dilaksanakan, atau menanti tugas dari bos untuk dijalankan. Bahkan merasa tidak berarti karena bukan siapa-siapa, tidak mempengaruhi siapa-siapa, tidak diperhitungkan oleh siapapun, dan merasa bukan sebagai pembuat keputusan-keputusan yang berarti.

Faktanya, disadari atau tidak, setiap kita adalah pemimpin. Di rumah kita menentukan bagaimana membesarkan anak-anak, di tempat kerja, kita memilih cara terbaik untuk menyelesaikan tugas, bahkan dalam kesendirian, kita menentukan keputusan apakah akan tetap terpuruk atau berusaha bangkit. 

Seringkali kita memaknai kepemimpinan sebagai jabatan struktural, posisi elit, atau sosok dengan pengaruh besar. Padahal hakikat kepemimpinan itu lebih mendalam dan lebih personal. Ya, memimpin itu tidak harus mengemban tanda jabatan, memimipn tidak harus menggunakan panggung atau podium, tidak selalu dengan mikrofon, dan tidak perlu sorotan lampu.

Menjadi pemimpin artinya mampu menggerakkan, mengarahkan dan mempengaruhi, baik terhadap orang lain maupun diri sendiri, menuju tujuan yang lebih baik. Kepemimpinan adalah tentang kesadaran untuk bertanggungjawab atas hidup yang dijalani, sekecil apapun peran itu.

Pemimpin sejati tidak selalu berada di podium. Kadang ia adalah ibu yang sabar membentuk karakter anak, seorang guru yang memberi teladan dalam diam, atau bahkan seorang remaja yang memilih untuk berkata "tidak" saat teman-temannya mengajak untuk terjerumus kepada hal yang buruk.

Apakah setiap oang harus menjadi pemimpin? jawabannya: ya, setidaknya untuk dirinya sendiri.

Pengikut itu hanya menjalankan, sedangkan pemimpin itu berpikir ke depan. Mengambil inisiatif dan menanggung risiko. Namun demikian pemimpin yang bijak memahami kapan harus menjadi pengikut yang taat. Dalam banyak hal, menjadi pengikut yang baik adalah bentuk lain dari kepemimpinan yang dewasa, yaitu memimpin ego untuk tunduk demi kebaikan bersama.

Dengan demikian, perbedaan bukan antara pemimpin dan pengikut, tapi antara mereka yang pasif dan mereka yang bertanggungjawab. Dunia tidak pernah menunggu orang yang menunggu, tetapi memberi jalan bagi mereka yang berani bergerak lebih dulu.

Tidak semua orang harus menjadi pemimpin besar, tetapi semua orang bisa menjadi pemimpin yang benar, yaitu yang memiliki kesadaran diri, berintegritas atau jujur serta konsisten dengan ucapan dan tindakan, berani mengambil keputusan walaupun tidak populer, mampu mendengarkan dan merasakan orang lain, tidak hanya berbicara tetapi juga melakukan terlebih dulu, siap menghadapi konsekuensi dan tidak menyalahkan orang lain, tidak mudah menyerah, terus bergerak walaupun pelan.

Memimpin bukanlah tentng menguasai, tetapi tentang mengayomi. Bukan tentang banyak bicara, tetapi tentang mau mendengarkan. Bukan tentang diperhatika, tetapi tentang memberi pengaruh yang baik.

Tidak ada keteladanan kepemimpinan yang lebih lengkap dari Rasulullah SAW. Beliau tidak hanya memimpin negara, tetapi juga memimpin keluarga, sahabat, dan masyarakat. Beliau tidak hanya mengatur, tetapi juga melayani. Beliau tidak hanya memerintah tetapi terlebih dulu memberi contoh.

Beliau bersabda: "setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.

Sabda ini menegaskan bahwa kepemimpinan adalah amanah yang melekat pada setiap insan. Tidak peduli apa profesimu, statusmu, atau dimanapun kamu berada, selama hidup. Kita adalah pemimpin. Jika tidak bagi orang lain, maka setidaknya bagi dirimu sendiri.



Sunday, June 8, 2025

Kenali, Siapakah Dirimu?


Coba lakukan observasi untuk menjawab pertanyaan, adakah di dunia ini, di sekelilingmu sesuatu yang diciptakan tanpa ada maksud, diciptakan hanya untuk diciptakan? Jika menemukan satu saja, sebutkan! Faktanya, kita akan kesulitan menemukan benda-benda yang secara sadar diciptakan, tetapi tanpa tujuan. Siapakah yang paling tahu tentang tujuan diciptakannya suatu benda? tentu saja pencipta suatu benda memiliki pengetahuan lebih mendalam tentang benda yang diciptakan dibandingkan penggunanya. Pencipta suatu benda lebih tahu tujuan dan fungsi benda serta memiliki alasan suatu benda diciptakan dengan bentuk tertentu untuk mendukung fungsi dari benda itu. Bahkan jika benda yang diciptakan itu rumit, pencipta akan membuat buku panduan penggunaan dan perawatan benda tersebut agar memiliki fungsi maksimal dan ketahanan yang lebih lama.

Sekecil apapun benda diciptakan, pasti akan ditemukan tujuan penciptaannya. Sebagai contoh, peniti dibuat untuk menyatukan kain atau jilbab, atau mengganti resleting yang rusak. Karet gelang diciptakan untuk mengikat barang-barang kecil seperti pinsil, uang atau kabel. Demikian pula benda kecil lain seperti sedotan, kancing cadangan, silica gel, atau benang dan jarum. 

Benda kecil lainnya seringkali memiliki manfaat vital yang menyebabkan tidak berfungsinya benda lain yang lebih besar, jika ia tidak ada. Contohnya pentil pada roda berfungsi mengatur keluar masuknya udara di ban, tanpa pentil ban tidak bisa menyimpan tekanan udara. Contoh lain, adalah sekrup (baut kecil) yang berfungsi mengikat komponen mesin, elektronik dan berbagai benda. Jika tidak ada sekrup mesin bisa rusak atau longgar. 

Dengan kata lain, setiap benda yang diciptakan secara sadar, tentu memiliki tugas dan fungsi serta bentuk yang ditentukan oleh penciptanya. Penggunaan yang tidak sesuai dengan tujuan pencipta bisa saja terjadi, tentu saja hal itu akan berpengaruh terhadap efektivitas kerja suatu benda. Bukan hanya itu, kesalahan penggunaan suatu benda tidak sesuai dengan tujuan penciptaan benda tersebut, baik disengaja ataupun tidak, dapat merembet menjadi disefisiensi, pemborosan pembiayaan serta delay waktu sehingga tidak sesuai harapan, dan pada akhirnya akan menimbulkan kerugian.  

Katakanlah, saya membuat gelas. Gelas biasa yang dimaksudkan menjadi wadah untuk air minum. Bentuk gelas itu dibuat seperti tabung dengan lingkaran bagian atas sekitar 2 sampai 3 centimeter lebih besar diameternya dibandingkan dengan lingkaran bagian bawah. Ketika gelas itu sampai di tangan pembeli, fungsi utama dari gelas itu memang menjadi alat untuk minum, membantunya minum dengan cara yang lebih efektif dibandingkan dengan minum menggunakan dua tangan secara langsung, atau dibandingkan dengan minum menggunakan alat lain yang tidak diciptakan dengan tujuan untuk alat bantu minum, seperti ember, sendok, piring, dan sebagainya.

Karena saya adalah orang yang merdeka, boleh dong gelas itu saya pergunakan semau saya, lha wong gelas itu sudah saya beli dan adalah hak saya untuk menggunakannya sesuka hati saya. Tidak harus menjadi alat bantu saya minum kan? Saya memandang bahwa adalah hak asasi saya jika saya menggunakan gelas itu untuk duduk, atau memindahkan pupuk kohe dari karung ke pot untuk menanam tanaman, atau untuk menangkap kecoa dan disimpan di dalamnya. Ya... tentu saja itu bisa dilakukan, tetapi penggunaan gelas yang tidak sesuai dengan tujuan penciptaan gelas, berdampak terhadap banyak hal. Silahkan pikirkan sendiri akibat yang akan dirasakan oleh saya.

Hal yang tadi saya bicaraka itu (penciptaan peniti, karet galang, gelas, pentil untuk roda, sekrup, dll) bisa disebut merupakan hal kecil yang tidak memerlukan pemikiran yang rumit dan mendalam untuk menciptakannya. Ada hal lain yang diciptakan lebih rumit, seperti mesin pada mobil dan pesawat terbang, susunan komponen pada komputer, televisi, atau handphond yang setiap hari Anda pegang, semua dibarengi dengan cara penggunaan dan prosedur perawatannya yang dibuat oleh produser benda-benda tersebut.

Selain benda-benda buatan manusia yang dapat disebut rumit, faktanya manusia sendiri adalah mahluk yang didisain dengan susunan yang luar biasa rumitnya. Buktinya dari seluruh tubuh manusia, diperlukan ratusan jenis dokter spesialis untuk menanganinya. Perlu bertahun-tahun dokter spesialis mempelajari bagaimana cara kerjanya, apa saja yang dapat memicu atau menambah kerusakan fungsinya dan apa yang dapat membantu mengatasi penyakitnya. Untuk urusan mata, ada dokter tersendiri, untuk jantung ada dokter jantung, ada dokter THT, dokter kandungan, dokter yang menangani tulang, syaraf, kulit, kelamin, dan masih banyak lagi. Bahkan kini masih diperlukan dokter sub spesialis. Sebagai contoh, untuk menangani masalah jantung atau dikenal dengan spesialis kardiologi, masih ada kurang lebih 7 (tujuh) sub spesialis yaitu kardiologi intervensi yang menangani serangan jantung dan penyakit jantung koroner secara prosedural, elektrofisiologi jantung bertugas melakukan ablasi jantung dan pemasangan pacemaker, ekokardiografi yang bertugas membantu mendiagnosis katup jantung, kelainan struktural dan fungsi jantung, dan seterusnya.

Pertanyaannya, apakah manusia yang demikian rumit itu diciptakan atau dia jadi dengan sendirinya? jawabannya yang paling masuk akal adalah manusia itu diciptakan. Alasannya, milyaran manusia didisain dengan struktur yang sama dan luar biasa rumit, sangat tidak masuk akal jika ia jadi dengan sendirinya. Apakah manusia diciptakan tanpa maksud dan tujuan? melihat benda-benda sekecil apapun yang diciptakan oleh manusia pasti memiliki tujuan, adalah hal yang sangat tidak masuk akal jika manusia diciptakan main-main atau tanpa tujuan. Siapakah yang paling mengetahui tujuan dan fungsi diciptakannya manusia? tentu saja pencipta manusia lebih tahu apa maksud dan tujuan penciptaan manusia. Bagaimana cara manusia menemukan siapa penciptanya? Pencipta manusia (pasti) dengan sengaja menyematkan piranti otak, akal dan pikiran yang dapat menjadi alat untuk mencari siapa penciptanya. Untuk memastikan manusia menjalankan tugas dan fungsi sebagaimana maksud penciptaannya, tentu Yang Maha Pencipta menyertakan manual book atau petunjuk yang dapat diindra oleh manusia, dapat dijangkau oleh akal manusia. Gunakan akalmu, maka kau akan menemukan penciptamu.

Wednesday, May 28, 2025

Aku Tak Pernah Bercita-cita Jadi Ibu, Tapi Hidup Menuntunku ke Sana


Tak pernah sekalipun aku menuliskan kata “Ibu” dalam daftar cita-citaku. Kupikir Ibu bukanlah peran yang menarik, menjadi ibu tidak sekeren dokter, dosen atau polisi, menjadi ibu itu terlalu biasa. Menjadi ibu itu gampang, tinggal menyuapi, memandikan, menyekolahkan, selesai. Aku masih ingat ketika ibuku dan guru SD ku bertanya tentang cita-cita, aku sering menjawab ingin menjadi guru yang muridnya bukanlah anak-anak.

Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, menjadi ibu sebagai bagian dari rencana hidup. Namun kehidupan ternyata punya caranya sendiri untuk membuat kita belajar hal-hal yang tidak pernah disangka. Ketika kata “ibu” terdengar di telinga, kemudian merasuk dan mengisi hari-hari yang penuh dengan kesibukan, menggendong si kecil yang rewel karena tumbuh gigi, atau menunda tugas-tugas dari dosen dan baru mengerjakannya di Tengah malam ketika si kecil sudah tertidur.

Pada akhirnya suasana hectic dan rasa lelah tak lagi mengendap di hati. Semua perlahan menguap, berganti dengan kesadaran baru bahwa menjadi ibu bukanlah soal bisa atau tidak bisa, melainkan tentang memperluas hati—setiap hari. Dan tak ada penghormatan yang lebih agung selain ketika Rasulullah menempatkan surga di telapak kaki ibu—tempat di mana cinta, pengorbanan, dan doa-doa yang tak terdengar tumbuh tanpa pamrih.

Aku masih ingat saat dua garis merah mucul di test pack, detak jantung berpacu kencang disertai bisikan “Apakah aku bisa?”. What’s next dengan baby yang nanti akan mengisi hari-hari kita?

Sejak saat itu, hidup terasa seperti kereta yang tak bisa lagi dicegah lajunya. Trimester pertama datang Bersama mual, Lelah, dan perubahan tubuh yang berbeda setiap hari. Tapi yang paling mengganggu bukanlah tentang perubahan fisik, melainkan pikiranku yang takut. Takut anak terlahir cacat, takut gagal menjadi ibu, takut tidak bisa mencintai dengan benar, bahkan takut kehilangan diriku sendiri.

Lalu hari itu tiba. Bayi kecil itu lahir ke dunia, menggenggam jariku dengan tangan mungilnya seolah berkata “Aku percaya padamu”. Sejak detik itu aku tahu bahwa aku tak bisa mundur. Hari baru dimulai, aku harus mengambil peran menjadi ibu.

Hari-hariku berubah drastis, si kecil rupanya belum menyesuaikan ritme tidurnya sehingga siang lebih sering tidur tetapi malam lebih sering bangun. Tidur adalah sesuatu yang mewah, makan pun seringkali harus bergantian dengan suami atau ibuku. Ada pula hari-hari ketika aku merasa kehilangan diriku sendiri. Aku yang suka membaca, suka menggambar, dan berkumpul bersama teman-teman, kini digantikan oleh aku yang harus cepat tanggap dan selalu terjaga.

Aku pernah marah karena Lelah, lalu menangis karena merasa bersalah. Aku pernah iri melihat teman-teman yang tampak “bebas”, sementara aku bahkan sulit mandi dengan tenang. Tapi di Tengah semua itu, ada satu hal yang tumbuh perlahan namun pasti. Aku belajar mengenal anakku, sekaligus belajar mengenal diriku yang baru. Diriku yang ternyata mampu bersabar, mampu memaafkan diri, dan mampu mencintai tanpa syarat.

Kini aku tahu, menjadi ibu itu bukan sekedar tentang mendidik anak, tetapi juga mendidik diri sendiri untuk lebih sabar, Tangguh, dan menerima bahwa tidak semua hal berjalan sesuai rencana.

Anak mengajarkanku bahwa cinta bukan tentang memberi yang sempurna, tetapi tentang hadir dengan sepenuh hati. Bahwa kadang, kita hanya perlu memeluk tanpa kata-kata, dan bahwa memaafkan diri sendiri juga bagian dari pengasuhan.

Menjadi ibu itu tidak gampang. Di balik kerepotan dan air mata, ternyata ada kehangatan luar biasa yang tidak bisa digantikan. Cinta yang membuatku terus memilih untuk bertumbuh setiap hari.

Aku sadar bahwa aku belum bisa menjadi ibu yang baik, tetapi aku tahu setiap ibu perlu belajar setiap hari, karena setiap hari adalah pengalaman pertama. Pengalaman pertama menjadi ibu, lalu pengalaman pertama dengan anak balita, kemudian pengalaman pertama menyekolahkan anak, pengalaman pertama mengasuh anak kedua dan seterusnya, kemudian pengalaman pertama punya anak remaja, pengalaman pertama menikahkan anak, pengalaman pertama dengan cucu, bahkan pengalaman pertama ketika tidak ada lagi anak-anak di rumah.

Menjadi ibu bukanlah soal cocok atau tidak cocok, tetapi bagaimana kita menerima peran itu dan berusaha menjalaninya sepenuh hati, dengan hati yang terus menerus diperluas.

Dulu aku tidak bercita-cita menjadi ibu, tetapi hari ini menjadi ibu adalah bagian terpenting dalam hidupku. Jika suatu hari anakku membaca ini, aku ingin mereka tahu bahwa aku memang tidak sempurna, tetapi cintaku pada mereka adalah hal paling nyata yang pernah aku punya.

Tulisan ini adalah pengingat terutama untuk anak-anakku yang kelak akan menjadi ibu, bahwa tidak semua peran harus direncanakan. Seringkali cinta justru tumbuh setelah kita menjalaninya dengan keikhlasan.

Terbaru

Cinta yang Tak Butuh Panggung

Suasana aula sore itu penuh dengan semangat. Suara MC mengisi udara, memanggil satu per satu nama santri yang meraih prestasi terbaik—dari y...

Populer