Sunday, July 20, 2025

Kapal Tak Ditakdirkan untuk Dermaga

 

Di suatu pelabuhan tua, sebuah kapal kayu terdiam. Badannya utuh, catnya mulai pudar dimakan waktu, tapi tak ada satu lubang pun di lambungnya. Ia aman. Ia selamat. Tapi tak pernah ke mana-mana. Kapal itu tak pernah mengarungi laut. Tak pernah tahu riuhnya badai, kerasnya ombak, atau arah angin yang menantang. Ia hanya berdiam, terpajang seperti artefak masa lalu. Mungkin ia bangga tak pernah bocor, tapi juga tak punya kisah untuk diceritakan. Lalu aku berpikir, bukankah banyak dari kita hidup seperti kapal itu?

Kita memilih dermaga—tempat aman, rutinitas nyaman, jalur paling datar. Kita lupa, bahwa sebagaimana kapal yang diciptakan untuk berlayar, kita pun diciptakan untuk mengarungi samudra kehidupan—penuh risiko, tantangan, tapi juga pertumbuhan.

Kapal tak pernah dimaksudkan untuk disimpan. Ia dirancang untuk melawan angin, menembus badai, dan menemukan pelabuhan-pelabuhan baru. Demikian pula manusia. Kita tak diciptakan hanya untuk nyaman, bertahan, dan diam. Kita hadir ke dunia untuk menghidupkan potensi, memikul tanggung jawab, dan menjawab panggilan makna.

Sebagaimana kapal tak boleh takut pada ombak, manusia tak seharusnya takut pada kegagalan. Karena hidup yang sejati bukan tentang selamat dari semua luka, tapi tentang bagaimana kita bangkit, belajar, dan bertumbuh darinya. Dermaga itu nyaman. Tapi terlalu lama bersandar membuat kita lupa bahwa kita bisa melaju lebih jauh.

Ketika kita terlalu takut untuk melangkah, kita justru menyia-nyiakan daya cipta dalam diri. Takut gagal, takut tak diterima, takut berbeda—semua itu menjadikan kita penonton dari hidup kita sendiri. Kita jadi seperti kapal mewah yang tak pernah meninggalkan pelabuhan. Padahal, tak ada pelaut hebat yang lahir dari laut yang tenang.

Setiap kita dilengkapi dengan “mesin” dan “kemudi” kehidupan. Yaitu akal, hati, iman, intuisi. Tapi semua itu tak berarti jika kita tak berani bergerak. Mungkin hari ini kita sedang berada di dermaga—menimbang, ragu, dan bertanya: “Apa aku siap?” Kenyataannya adalah, tidak ada yang benar-benar siap. Tapi kita tetap bisa melangkah.

Sesungguhnya hidup ini bukan tentang menghindari badai, tapi tentang menjadi cukup kuat untuk menghadapinya. Tere Liye mengatakan bahwa "Hidup bukan tentang menunggu badai reda, tetapi tentang belajar menari di tengah hujan"

Dari analogi tadi saya jadi mengerti mengapa para nabi yang disebut sebagai kekasih Allah, justru mendapat tantangan yang besar dalam kehidupan? bukankah mudah saja bagi Allah untuk menghindarkan kekasih-Nya dari berbagai penderitaan? Tetapi semakin berat ujian dan tantangan yang dihadapi seorang nabi Allah, semakin tinggi derajatnya. Demikianlah tugas mereka dalam kehidupan. Para kekasih Allah dilahirkan bukan untuk diamankan dari tantangan dan persoalan, justru mereka diciptakan untuk menghadapi berbagai persoalan kehidupan.

Sebagai muslim, paling sedikit tujuh belas kali dalam setiap hari, kita membisikkan ayat ke dalam diri "tunjukilah kami ke jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat". Pertanyaannya, siapakah yang Allah beri nikmat? tentu saja jalan orang-orang yang menjadi kekasih-Nya, yaitu jalan terjal para nabi dan orang-orang sholeh, perjalanan hidup yang telah mereka lalui penuh perjuangan. Tidak ada cerita istirahat dalam sejarah hidup mereka. Itulah yang selalu kita minta, untuk itulah kita diciptakan, bukan untuk diam di tempat nyaman, tetapi untuk menjalankan misi dan peran, menjadi khalifah di muka bumi, pembelajar sepanjang hayat, pencipta kebaikan bagi sesama.

Mari kita pikirkan, kapan terakhir kali kita merasa benar-benar hidup? apakah saat nyaman atau saat tertantang? Tugas manusia bukan menjadi sempurna, tapi menjadi bermakna. Kita tidak dituntut untuk selalu menang, tapi untuk terus mencoba. Karena hanya mereka yang berlayarlah yang akan tahu arah angin, membaca bintang, dan akhirnya sampai pada tujuan. Kapal yang bersandar memang tak akan karam. Tapi ia juga tak pernah akan punya cerita. Tak akan ada lagu tentang pelayarannya. Tak akan ada peta yang bisa ia tunjukkan.

So, berlayarlah! Meski perlahan, meski takut. Karena kita tak ditakdirkan untuk dermaga. Kita diciptakan untuk lautan.

No comments:

Post a Comment

Terbaru

Cinta yang Tak Butuh Panggung

Suasana aula sore itu penuh dengan semangat. Suara MC mengisi udara, memanggil satu per satu nama santri yang meraih prestasi terbaik—dari y...

Populer