Sunday, July 20, 2025

Ketika Hijab Menjadi Budaya: Refleksi Sosial di Negeri Muslim Terbesar

Di lingkungan tempat tinggalku, perempuan berhijab adalah pemandangan yang lumrah, walaupun kesehariannya di sekitar rumahnya seringkali tanpa hijab. Namun, fenomena yang menarik adalah setiap kali tetanggaku hendak ke kota—entah ke mall, bank, atau kantor pemerintahan—hampir semuanya tiba-tiba mengenakan hijab. Begitu kembali ke rumah, hijab dilepas, disampirkan di pundak, atau ditinggal dalam tas. Di saat lain, aku melihat seorang pengemis mengenakan hijab dan gamis lusuh, duduk di pinggir trotoar sambil mengulurkan tangan. Lalu di layar televisi, seorang narapidana korupsi tampil di ruang sidang dengan kerudung rapi dan wajah penuh penyesalan. Satu pertanyaan menari-nari di benakku: Apakah hijab hari ini masih makna, atau sudah berubah menjadi budaya?

Hijab, dalam pengertian asalnya, adalah perintah agama yang dimaksudkan sebagai bentuk kepatuhan dan kesadaran spiritual. Namun dalam dinamika masyarakat Indonesia hari ini, hijab tampaknya telah berkembang menjadi sesuatu yang lebih luas: sebuah simbol budaya, norma sosial, bahkan fashion populer.

Budaya, kata antropolog besar Indonesia Koentjaraningrat, adalah sistem nilai, simbol, dan praktik hidup yang diwariskan serta dihidupi oleh sekelompok manusia. Dalam pengertian ini, hijab yang dikenakan bukan semata karena kesadaran beragama, tapi juga karena ia telah menjadi bagian dari norma sosial. “Budaya adalah hasil interaksi manusia dengan nilai dan simbol,” tulisnya dalam Pengantar Ilmu Antropologi. “Ketika hijab dikenakan tanpa pemaknaan religius, ia sedang memainkan peran simbolik dalam budaya.”

Maka tak heran jika kita menemukan banyak orang mengenakan hijab bukan karena perintah iman, melainkan karena konteks sosial menuntutnya. Hijab menjadi "kostum kepatutan", semacam perisai dari penghakiman publik. Ia menenangkan masyarakat. Ia merapikan tampilan luar.

Fenomena ini bukan tanpa sejarah. Indonesia adalah negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, namun wajah keislamannya sangat majemuk. Islam datang ke Nusantara lewat jalan damai, dengan penyesuaian budaya yang kuat. Di Jawa, seperti yang diteliti oleh Clifford Geertz dalam The Religion of Java, Islam bersanding dengan kepercayaan lokal, membentuk sistem sosial yang lentur.

Dalam masyarakat yang demikian, hijab pun mengalami transformasi makna. Ia bukan lagi semata identitas religius, tetapi juga identitas sosial. Semacam “tanda” bahwa seseorang adalah bagian dari komunitas yang sopan, salehah, dan dapat dipercaya. Geertz mencatat, “Simbol agama bisa berubah fungsi menjadi simbol status, moralitas, atau bahkan alat perlindungan sosial.” Maka di ruang sidang, narapidana mengenakan hijab untuk membingkai penyesalan. Di tempat umum, hijab bisa meredam tatapan dan penghakiman. Di kota, hijab adalah kode sosial bahwa seseorang “tahu tempat”.

Tidak bisa diabaikan pula peran industri fashion muslim yang semakin berkembang. Dari gamis kekinian, kerudung pashmina berlayer, hingga modest wear yang ditampilkan dalam ajang internasional—semuanya membentuk persepsi baru bahwa hijab adalah bagian dari gaya hidup. Banyak perempuan muda mengenakan hijab bukan karena kesadaran beragama yang mendalam, tetapi karena pengaruh media, selebgram, dan tren.

Pakar cultural studies Stuart Hall menjelaskan bahwa “Identitas kultural seringkali dibentuk melalui simbol visual, dan pakaian adalah simbol paling kuat di antara semuanya.” (Representation: Cultural Representations and Signifying Practices). Maka hijab pun tak lepas dari arena representasi ini. Ia dipakai, difoto, dibagikan, ditiru. Menjadi semacam bahasa budaya.

Apakah ini salah? Tidak serta-merta. Budaya bisa menjadi jalan masuk menuju pemahaman yang lebih dalam. Seorang perempuan yang awalnya memakai hijab karena lingkungan, bisa saja di kemudian hari menemukan maknanya dan memutuskan untuk terus menjalaninya dengan kesadaran. Tapi di sisi lain, kita juga patut bertanya: bagaimana jika hijab berhenti sebagai simbol spiritual dan hanya menjadi formalitas sosial?

Di sinilah pentingnya pendidikan dan perenungan. Sebab pakaian bukan sekadar penutup tubuh, tetapi juga cermin dari kesadaran. Ketika hijab hanya menjadi budaya, kita berisiko kehilangan makna aslinya. Namun ketika budaya dikembalikan ke nilai, hijab bisa menjadi jembatan antara kesalehan personal dan tanggung jawab sosial.

Sebagai perempuan yang tumbuh di tengah masyarakat Muslim, aku memahami bahwa hijab bukan sekadar pilihan, melainkan juga beban sosial. Tak semua yang berhijab taat, dan tak semua yang belum berhijab lalai. Tapi satu hal yang kurenungi: saat kita mengenakan hijab, kita sedang berbicara kepada dunia. Pertanyaannya adalah: apa yang sedang kita sampaikan?

Hijab bisa menjadi jubah kepura-puraan, atau jubah penghormatan. Bisa menjadi tekanan, atau kesadaran. Maka mari kita jujur pada diri sendiri. Jika berhijab, biarlah karena cinta, bukan karena takut dilihat salah. Dan jika belum berhijab, biarlah tetap menjaga diri dan hati, sambil terus mencari cahaya.

Sebab berhijab bukan akhir pencarian, melainkan mungkin justru awal perjalanan.


REFERENSI

Geertz, Clifford. The Religion of Java. University of Chicago Press, 1960.

Hall, Stuart. Representation: Cultural Representations and Signifying Practices. Sage Publications, 1997.

Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta, 2009.

No comments:

Post a Comment

Terbaru

Cinta yang Tak Butuh Panggung

Suasana aula sore itu penuh dengan semangat. Suara MC mengisi udara, memanggil satu per satu nama santri yang meraih prestasi terbaik—dari y...

Populer