Monday, July 21, 2025

Cinta yang Tak Butuh Panggung


Suasana aula sore itu penuh dengan semangat. Suara MC mengisi udara, memanggil satu per satu nama santri yang meraih prestasi terbaik—dari yang tercepat dalam menghafal, teraktif mengikuti kegiatan, hingga yang paling rajin dan disiplin. Tepuk tangan riuh menyambut setiap nama yang disebut, sorot lampu panggung menyorot wajah-wajah penuh bangga.

Saya ikut bertepuk tangan, tentu saja. Tapi dalam hati kecil, saya menunggu satu nama. Nama anak saya. Barangkali akan disebut di bagian akhir, mungkin akan ada kejutan kecil yang membuat saya bangga luar biasa. Tapi sampai sesi itu usai, namanya tak terdengar. Tak ada pujian yang mengarah padanya. Ia bukan yang tercepat, terbaik, atau teristimewa menurut daftar.

Ada rasa kecewa. Sekilas, ada desir halus yang menyentuh ego saya sebagai orang tua. Mungkinkah ia tidak cukup menonjol? Tidak cukup berusaha? Atau saya yang terlalu berharap?

Acara berlanjut dengan penampilan seni. Anak saya ikut tampil bersama kelompoknya. Saya berusaha mencari sosoknya di atas panggung. Ia ada di sana—ya, saya menemukannya—di barisan paling belakang. Tak berada di tengah, tak memegang peran utama. Hanya menjadi bagian dari gerakan kompak yang nyaris tak terlihat penonton.

Saya menahan napas. Rasanya hati ini kembali teriris. Anak saya ada, tapi seperti tidak benar-benar hadir.

Namun, di tengah riuh tepuk tangan dan mata yang mencari sorotan utama, saya mendadak tersentak oleh sebuah kesadaran. Cinta orang tua seharusnya tak butuh panggung.

Anak saya mungkin bukan yang tercepat menghafal, bukan yang paling disiplin dicatat sekolah. Tapi saya tahu ia bangun pagi setiap hari, menaklukkan rasa malas, melawan kantuk saat harus bangun sebelum subuh, dan menjaga sikap agar tetap sopan. Ia ikut semua kegiatan—bukan karena ingin pujian, tapi karena ingin menjadi bagian dari proses itu sendiri. Dan bukankah itu juga sebuah prestasi?

Berjuang menjadi anak baik di dunia yang makin bising dan penuh distraksi, adalah pencapaian. Berusaha menundukkan keinginan, mengikuti peraturan pesantren, tidak membangkang, itu adalah bentuk kemenangan yang tak selalu disebut dari panggung.

Saya belajar, hari itu, untuk mencintai anak saya tanpa syarat-syarat duniawi. Tanpa mengaitkan cinta dengan ranking, posisi, atau pengakuan dari orang lain. Ia mungkin tidak masuk daftar terbaik versi sekolah, tapi ia masuk dalam daftar doa-doa panjang saya setiap malam.

Saya tidak ingin anak saya tumbuh dengan tekanan untuk selalu terlihat hebat. Saya ingin ia tumbuh dengan keyakinan bahwa ia dicintai, bahkan saat tidak ada yang menyorotnya. Bahwa dalam setiap usahanya—yang kadang kecil, sunyi, dan tak terlihat—ada mata saya yang melihat, dan hati saya yang bangga. Karena tidak semua cinta harus diumumkan dari atas panggung.

Ada cinta yang bekerja diam-diam, yang tak membutuhkan sorotan, tapi nyata dalam pelukan, dalam kesabaran menunggu anak tumbuh dengan caranya sendiri, dan dalam keteguhan hati untuk tetap mencintai, apa pun dan siapa pun ia hari ini.

No comments:

Post a Comment

Terbaru

Cinta yang Tak Butuh Panggung

Suasana aula sore itu penuh dengan semangat. Suara MC mengisi udara, memanggil satu per satu nama santri yang meraih prestasi terbaik—dari y...

Populer