Pagi itu, seperti pagi-pagi lainnya, aku menunda lagi alarm yang pertama berbunyi. Lalu alarm kedua, ketiga, hingga akhirnya aku terbangun dengan sedikit penyesalan. Bukan karena kesiangan, tapi karena menyadari satu hal kecil: betapa mudahnya aku menunda. Padahal, waktu tak pernah menungguku. Waktu tak pernah membantah ketika aku memilih menunda, ia hanya terus berjalan. Tanpa suara. Tanpa penanda. Tanpa bisa diputar ulang.
Kita sering berkata, "Nanti saja," seolah kita tahu pasti bahwa nanti itu akan datang. Padahal, siapa yang bisa menjamin? Hari esok, bagi kita, hanyalah asumsi. Ia belum nyata, belum hadir, dan mungkin tak pernah ada. Tapi hari ini—ya, hanya hari inilah yang benar-benar nyata. Detik ini. Napas ini. Kesempatan ini.
Waktu adalah anugerah yang paling adil dibagikan, tapi paling sering diabaikan. Tak peduli siapa kita—kaya atau miskin, pintar atau biasa saja—kita semua mendapat jatah 24 jam sehari. Tapi penggunaannya? Itu urusan kita. Waktu tak bisa kita simpan, tak bisa kita tambah, dan tak bisa kita ulang. Ia lewat begitu saja, dan tak akan pernah kembali. Waktu itu seperti es balok, dipakai atau tidak ia pelan-pelan mencair.
Bahkan, tak semua yang berharga bisa dihitung. Kita bisa menghitung menit, jam, atau hari, tapi tidak bisa menghitung berapa banyak peluang baik yang hilang karena sebuah penundaan.
Penundaan itu seperti utang. Awalnya kecil, tapi menumpuk. Kita menunda mengerjakan tugas, menunda meminta maaf, menunda mulai hidup sehat, menunda mendekat pada Tuhan. Kita tahu itu penting, tapi entah kenapa, sering kali "nanti saja" terasa lebih nyaman diucapkan daripada "sekarang juga".
Saya menulis ini karena saya pun pelakunya. Saya tahu menunda itu merugikan, tapi tetap saja melakukannya. Mungkin karena merasa masih punya waktu. Padahal, siapa yang bisa menjamin?
"Menunda itu seperti mencicil kehilangan," kata seorang teman. Dan saya mengamininya sepenuh hati.
Suatu hari, saya membaca kembali hadis yang sudah sering didengar, tapi kali ini terasa seperti tamparan lembut:
"Gunakan lima perkara sebelum lima perkara: masa mudamu sebelum datang masa tuamu, masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu, masa kayamu sebelum datang masa miskinmu, waktu luangmu sebelum datang masa sibukmu, dan hidupmu sebelum datang matimu." (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi)
Hadis ini terasa begitu nyata dalam kehidupan sehari-hari. Kita muda, tapi tak sadar kalau itu hanya sementara. Kita sehat, tapi abai menjaga tubuh. Kita punya waktu, tapi malah membunuhnya dengan hal-hal sia-sia. Kita hidup, tapi belum sungguh-sungguh menjalani hidup.
Betapa banyak orang yang baru sadar akan berharganya waktu justru ketika semuanya telah berubah. Ketika sehat telah digantikan sakit, ketika sibuk menyita seluruh ruang, atau ketika kesempatan sudah tertutup rapat oleh waktu yang tak bisa kembali.
Hari kemarin hanyalah kenangan, hari esok masih misteri. Hanya hari ini yang nyata. Jika kita ingin berubah, memperbaiki, memulai, maka mulailah hari ini. Jangan tunggu esok, karena esok itu fiksi. Yang nyata adalah sekarang.
Jika hari ini kita tersadar, maka hari ini pula kita bisa memilih untuk bertindak. Jangan sampai kita menjadi orang yang berkata, "Andai saja waktu bisa diputar ulang."
Saya menulis ini bukan untuk menggurui. Ini catatan untuk diri saya sendiri—agar saya tak terus menunda, agar saya lebih menghargai detik demi detik yang Allah beri. Karena saya tahu, waktu itu akan pergi, apakah saya siap atau tidak.
Saya tak tahu sampai kapan usia ini. Tapi saya tahu, selama waktu masih ada di tangan saya, maka saya harus menjaganya. Harus menggunakannya. Harus mencintainya. Sebab waktu adalah hidup itu sendiri. Dan hidup—tak pernah menunggu.
No comments:
Post a Comment