Tak pernah sekalipun aku menuliskan kata “Ibu” dalam daftar cita-citaku. Kupikir Ibu bukanlah peran yang menarik, menjadi ibu tidak sekeren dokter, dosen atau polisi, menjadi ibu itu terlalu biasa. Menjadi ibu itu gampang, tinggal menyuapi, memandikan, menyekolahkan, selesai. Aku masih ingat ketika ibuku dan guru SD ku bertanya tentang cita-cita, aku sering menjawab ingin menjadi guru yang muridnya bukanlah anak-anak.
Tidak pernah terbayangkan
sebelumnya, menjadi ibu sebagai bagian dari rencana hidup. Namun kehidupan
ternyata punya caranya sendiri untuk membuat kita belajar hal-hal yang tidak
pernah disangka. Ketika kata “ibu” terdengar di telinga, kemudian merasuk dan
mengisi hari-hari yang penuh dengan kesibukan, menggendong si kecil yang rewel
karena tumbuh gigi, atau menunda tugas-tugas dari dosen dan baru mengerjakannya
di Tengah malam ketika si kecil sudah tertidur.
Pada akhirnya suasana hectic dan rasa lelah tak lagi mengendap di hati. Semua perlahan menguap, berganti dengan
kesadaran baru bahwa menjadi ibu bukanlah soal bisa atau tidak bisa, melainkan
tentang memperluas hati—setiap hari. Dan tak ada penghormatan yang lebih agung
selain ketika Rasulullah menempatkan surga di telapak kaki ibu—tempat di mana
cinta, pengorbanan, dan doa-doa yang tak terdengar tumbuh tanpa pamrih.
Aku masih ingat saat dua garis
merah mucul di test pack, detak jantung berpacu kencang disertai bisikan
“Apakah aku bisa?”. What’s next dengan baby yang nanti akan mengisi hari-hari
kita?
Sejak saat itu, hidup terasa
seperti kereta yang tak bisa lagi dicegah lajunya. Trimester pertama datang
Bersama mual, Lelah, dan perubahan tubuh yang berbeda setiap hari. Tapi yang
paling mengganggu bukanlah tentang perubahan fisik, melainkan pikiranku yang
takut. Takut anak terlahir cacat, takut gagal menjadi ibu, takut tidak bisa
mencintai dengan benar, bahkan takut kehilangan diriku sendiri.
Lalu hari itu tiba. Bayi kecil itu
lahir ke dunia, menggenggam jariku dengan tangan mungilnya seolah berkata “Aku
percaya padamu”. Sejak detik itu aku tahu bahwa aku tak bisa mundur. Hari baru
dimulai, aku harus mengambil peran menjadi ibu.
Hari-hariku berubah drastis, si
kecil rupanya belum menyesuaikan ritme tidurnya sehingga siang lebih sering
tidur tetapi malam lebih sering bangun. Tidur adalah sesuatu yang mewah, makan
pun seringkali harus bergantian dengan suami atau ibuku. Ada pula hari-hari
ketika aku merasa kehilangan diriku sendiri. Aku yang suka membaca, suka
menggambar, dan berkumpul bersama teman-teman, kini digantikan oleh aku yang
harus cepat tanggap dan selalu terjaga.
Aku pernah marah karena Lelah,
lalu menangis karena merasa bersalah. Aku pernah iri melihat teman-teman yang
tampak “bebas”, sementara aku bahkan sulit mandi dengan tenang. Tapi di Tengah
semua itu, ada satu hal yang tumbuh perlahan namun pasti. Aku belajar mengenal
anakku, sekaligus belajar mengenal diriku yang baru. Diriku yang ternyata mampu
bersabar, mampu memaafkan diri, dan mampu mencintai tanpa syarat.
Kini aku tahu, menjadi ibu itu
bukan sekedar tentang mendidik anak, tetapi juga mendidik diri sendiri untuk
lebih sabar, Tangguh, dan menerima bahwa tidak semua hal berjalan sesuai
rencana.
Anak mengajarkanku bahwa cinta
bukan tentang memberi yang sempurna, tetapi tentang hadir dengan sepenuh hati.
Bahwa kadang, kita hanya perlu memeluk tanpa kata-kata, dan bahwa memaafkan
diri sendiri juga bagian dari pengasuhan.
Menjadi ibu itu tidak gampang. Di
balik kerepotan dan air mata, ternyata ada kehangatan luar biasa yang tidak
bisa digantikan. Cinta yang membuatku terus memilih untuk bertumbuh setiap
hari.
Aku sadar bahwa aku belum bisa
menjadi ibu yang baik, tetapi aku tahu setiap ibu perlu belajar setiap hari,
karena setiap hari adalah pengalaman pertama. Pengalaman pertama menjadi ibu,
lalu pengalaman pertama dengan anak balita, kemudian pengalaman pertama
menyekolahkan anak, pengalaman pertama mengasuh anak kedua dan seterusnya,
kemudian pengalaman pertama punya anak remaja, pengalaman pertama menikahkan
anak, pengalaman pertama dengan cucu, bahkan pengalaman pertama ketika tidak
ada lagi anak-anak di rumah.
Menjadi ibu bukanlah soal cocok
atau tidak cocok, tetapi bagaimana kita menerima peran itu dan berusaha
menjalaninya sepenuh hati, dengan hati yang terus menerus diperluas.
Dulu aku tidak bercita-cita menjadi ibu, tetapi hari ini menjadi ibu adalah bagian terpenting dalam hidupku. Jika suatu hari anakku membaca ini, aku ingin mereka tahu bahwa aku memang tidak sempurna, tetapi cintaku pada mereka adalah hal paling nyata yang pernah aku punya.
Tulisan ini adalah pengingat terutama untuk anak-anakku yang kelak akan menjadi ibu, bahwa tidak semua peran harus direncanakan. Seringkali cinta justru tumbuh setelah kita menjalaninya dengan keikhlasan.
No comments:
Post a Comment