Wednesday, September 10, 2025

Ketuhanan Yang Maha Esa Hanya Kata?

 Coba perhatikan kebiasaan kita di ruang kelas, seminar, atau workshop. Hampir selalu kegiatan dibuka dengan doa. Semua menunduk, melafalkan permohonan agar acara berjalan lancar, penuh berkah, dan mendapat ridha Tuhan.

Tapi setelah doa selesai, suasana langsung berubah. Slide demi slide penuh teori, angka, dan rumus dipaparkan. Dari awal sampai akhir, nama Tuhan nyaris tidak pernah disebut lagi. Ilmu pengetahuan diperlakukan seakan-akan lahir dari ruang kosong, berdiri sendiri, tanpa kaitan dengan Sang Pencipta.

Lalu, kita pun bertanya: Apakah Ketuhanan Yang Maha Esa hanya berhenti di awal acara sebagai seremonial?

Fenomena ini begitu nyata. Matematika hanya diajarkan sebagai hitungan. Fisika hanya soal hukum dan rumus. Akuntansi hanya bicara laba-rugi. Semuanya seolah netral, seolah Tuhan tidak ada hubungannya dengan ilmu.

Padahal, bukankah alam semesta berdiri di atas presisi angka dan keteraturan hukum? Bukankah orbit planet, perputaran bumi, hingga detak jantung manusia adalah bukti betapa telitinya Sang Maha Mengatur?

Kalau kita memisahkan ilmu dari agama, sebenarnya kita sedang meniru pola pikir liberalisme: memisahkan iman dari akal, seakan keduanya tidak saling terkait.

Pancasila menempatkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama. Tetapi dalam praktiknya, nilai itu sering hanya jadi slogan. Kita ucapkan di mulut, tapi tidak kita hidupi dalam cara belajar dan mengajarkan ilmu.

Seorang guru atau dosen bisa membuka kelas dengan doa, tapi dua jam berikutnya penuh teori kering tanpa sentuhan ketuhanan. Akibatnya, ilmu terasa seperti benda mati: cerdas, tetapi dingin.

Kalau ini dibiarkan, akan lahir generasi pintar tapi kering spiritualitas. Mereka bisa menghitung angka, tapi lupa siapa pemilik angka. Mereka bisa menjelaskan hukum alam, tapi tidak lagi menghubungkannya dengan Sang Pencipta.

Ketuhanan Yang Maha Esa pun akan semakin terjebak sebagai kata-kata kosong, bukan fondasi kehidupan.

Bukankah lebih indah kalau setiap ilmu kita pandang sebagai jalan mengenal Tuhan?

  • Guru matematika bisa menyebut keteraturan angka sebagai tanda kebesaran Allah.

  • Dosen akuntansi bisa menyinggung bahwa keuangan adalah amanah, bukan sekadar catatan laba-rugi.

  • Pemateri fisika bisa mengajak kagum pada hukum alam yang begitu presisi.

Dengan begitu, setiap teori, angka, dan konsep bukan hanya dipahami otak, tapi juga dirasakan hati.

Ironi kita saat ini adalah menjadikan Tuhan sebatas salam pembuka. Setelah doa, seolah Tuhan pergi meninggalkan ruang kelas, seminar, dan rapat.

Padahal sejatinya, ilmu adalah jalan menuju-Nya. Jangan biarkan Ketuhanan Yang Maha Esa hanya berhenti sebagai kata. Mari kita hidupkan kembali iman di dalam ilmu, agar setiap pengetahuan yang kita gali semakin mendekatkan kita pada Sang Pencipta.



No comments:

Post a Comment

Terbaru

Setiap Masa Ada Orangnya, Setiap Orang Ada Masanya

  “Waktu selalu tahu kapan seseorang harus tampil dan kapan harus menunduk memberi ruang bagi yang lain. Karena hidup adalah panggung yang t...

Populer