“Kenapa, Tuhan? Mengapa harus aku yang mengalami ini?”
Kalimat itu sering muncul dari bibir yang gemetar menahan pilu — saat hasil diagnosis medis menunjukkan penyakit berat, saat rumah tangga retak tanpa sempat diselamatkan, atau saat seseorang gagal dalam ujian yang telah diperjuangkan mati-matian. Dalam detik-detik seperti itu, kita sering menengadah ke langit, berharap jawaban datang dari arah yang tak kasatmata. Tapi tak jarang, yang keluar bukan doa, melainkan gugatan halus yang disamarkan dalam kalimat pasrah: “Mungkin memang sudah kehendak Tuhan.”
Tuhan, seolah menjadi pihak yang paling siap disalahkan, paling siap menanggung semua alasan. Kita kehilangan arah, Ia dituduh. Kita salah langkah, Ia dianggap menghendaki. Kita menderita, Ia yang dimintai pertanggungjawaban. Padahal, jika diurai perlahan, benang kusut dari penderitaan seringkali berawal dari satu sumber yang lebih dekat: diri kita sendiri.
Ada semacam kebutuhan psikologis dalam diri manusia untuk mencari sebab dari setiap peristiwa — terutama yang menyakitkan. Ketika kehilangan pekerjaan, kita akan mengingat keputusan bos. Ketika gagal dalam hubungan, kita akan menyalahkan pasangan. Dan ketika semua kemungkinan duniawi sudah habis, kita pun menatap ke langit, mencari tersangka terakhir: Tuhan.
Dalam dunia psikologi, ada istilah defense mechanism — cara bawah sadar manusia melindungi dirinya dari rasa bersalah. Salah satunya adalah projection, yaitu memindahkan kesalahan diri kepada pihak lain. Maka, ketika kita gagal menjaga kesehatan, kita berkata, “Ini sudah garis Tuhan.” Ketika anak tidak berprestasi karena kurang perhatian, kita menghibur diri, “Barangkali belum waktunya, karena Tuhan belum menghendaki.” Padahal, di balik kalimat itu, terselip pengingkaran halus terhadap tanggung jawab yang sebenarnya milik kita.
Fenomena ini bukan sekadar soal keimanan, melainkan cermin dari bagaimana manusia memaknai hubungan dengan Tuhannya. Kita begitu mudah menisbatkan penderitaan kepada “kehendak Tuhan”, tapi jarang menyandarkan kesalahan kepada “kealpaan manusia”. Seolah-olah Tuhan memiliki kepentingan untuk membuat kita menderita, padahal tidak ada satu pun ayat suci yang menunjukkan bahwa penderitaan adalah proyek Tuhan untuk menyiksa makhluk-Nya.
Di sinilah letak paradoks manusia beriman: di satu sisi kita percaya bahwa segala sesuatu terjadi atas izin Tuhan, namun di sisi lain kita diberi kebebasan untuk memilih. Dua hal ini sering kita campuradukkan, padahal keduanya punya ruang berbeda.
Para teolog klasik membedakan antara kehendak kauniyah (apa yang diizinkan terjadi oleh Tuhan di alam semesta) dan kehendak syar’iyyah (apa yang diperintahkan Tuhan untuk dilakukan manusia). Sakit, gagal, bahkan dosa — semua bisa terjadi karena Tuhan mengizinkannya secara hukum alam, bukan karena Ia memerintahkannya. Tuhan memberi manusia akal, pilihan, dan konsekuensi; sementara manusia, dengan bebasnya, memilih arah. Maka, ketika kita salah langkah dan jatuh, apakah pantas jika yang pertama kali kita tuduh adalah Sang Pemberi Peta?
Ibarat orang yang menabrak tembok karena menutup mata, lalu berteriak marah kepada pembuat jalan. Padahal, jalan itu tidak pernah salah — yang keliru adalah cara kita berjalan.
Kita sering lupa bahwa Tuhan tidak memiliki kepentingan terhadap penderitaan manusia. Ia tidak bertambah mulia karena kita taat, dan tidak berkurang kuasa-Nya karena kita durhaka. Maka, mustahil jika Tuhan “membuat” seseorang menderita hanya untuk bersenang-senang melihat deritanya.
Namun, penderitaan memang diizinkan hadir — bukan sebagai hukuman otomatis, tapi sebagai guru kehidupan. Ada penderitaan yang menjadi ujian, agar kita naik kelas dalam iman. Ada yang menjadi akibat, agar kita belajar dari kesalahan. Ada pula yang menjadi jalan perjumpaan, agar kita mengenal-Nya lebih dalam. Tapi semua itu baru bisa kita pahami bila kita berhenti mencari Tuhan di kursi terdakwa, dan mulai mencarinya di ruang pengampunan.
Mungkin Tuhan tidak bersembunyi di balik awan, melainkan di balik cermin. Setiap kali kita menatap wajah sendiri dengan jujur, di sana kita bisa menemukan jejak-Nya — dan sekaligus jejak perbuatan kita sendiri. Tapi sering kali kita enggan menatap terlalu lama, karena pantulan itu bisa menyakitkan. Di sana terlihat jelas keputusan-keputusan yang sembrono, kebiasaan buruk yang kita pertahankan, dan doa yang lebih sering diminta tanpa usaha yang sepadan.
Kita menuduh Tuhan tidak adil, padahal kita sendiri yang tidak adil pada tubuh, waktu, dan sesama. Kita menuduh takdir kejam, padahal kita yang menulis skenario kecil dari kehancuran itu. Dan ironisnya, semakin kita mengelak dari tanggung jawab, semakin jauh pula kita dari makna keberagamaan yang sejati — yang sesungguhnya mengajarkan muhasabah (introspeksi) sebelum mencari kambing hitam.
Luka, dalam cara pandang spiritual, bukan sekadar penderitaan. Ia adalah teks kehidupan yang harus dibaca dengan hati yang tenang. Kadang Tuhan mengizinkan kita sakit bukan untuk menghukum, tapi untuk menuntun. Karena dalam rasa sakit, kesadaran sering kali tumbuh lebih cepat daripada dalam kenyamanan.
Seorang teman pernah berkata, “Andai aku tidak gagal dulu, aku tidak akan belajar tentang ketulusan.” Di titik itu, penderitaan bukan lagi hukuman, melainkan dialog sunyi antara jiwa dan Tuhan. Kita berhenti bertanya “mengapa aku?”, dan mulai bertanya “apa yang bisa kupelajari dari ini?”
Ketika kesadaran ini hadir, Tuhan tidak lagi tampak seperti hakim, melainkan seperti guru yang sabar. Penderitaan tidak lagi terasa seperti vonis, melainkan seperti pintu masuk menuju kedewasaan rohani.
Memang tidak semua penderitaan bersumber dari kesalahan manusia. Ada hal-hal yang benar-benar di luar kendali: bencana alam, kematian, kehilangan yang tak bisa dijelaskan logika. Namun bahkan dalam hal itu, manusia masih memiliki ruang tanggung jawab — bukan atas apa yang terjadi, melainkan atas bagaimana ia merespons.
Takdir adalah sesuatu yang datang, tapi sikap adalah sesuatu yang kita pilih. Di sinilah letak kebesaran manusia di hadapan Tuhan: bukan pada kemampuan mengubah takdir, tetapi pada keberanian untuk tetap bermakna di tengah takdir. Seorang bijak pernah menulis, “Kita tidak bisa memilih badai, tapi kita bisa memilih cara menyalakan pelita.”
Sayangnya, banyak dari kita berhenti di tengah jalan — menuduh badai sebagai alasan, dan lupa bahwa pelita itu ada di tangan sendiri.
Barangkali, hidup ini memang campuran antara takdir dan pilihan, antara rencana Tuhan dan keinginan manusia. Tapi satu hal pasti: Tuhan tidak pernah menulis skenario untuk menyakiti kita. Yang sering terjadi, kita sendiri yang menulis bab-bab kesalahan itu dengan tinta keputusan yang terburu-buru.
Maka, barangkali cara terbaik untuk berdamai dengan hidup adalah berhenti mencari Tuhan sebagai tersangka, dan mulai mencari-Nya sebagai sandaran. Saat kita berhenti menuduh-Nya, kita memberi ruang bagi pemahaman baru bahwa setiap peristiwa — entah manis atau pahit — adalah cara Tuhan memanggil kita pulang kepada kesadaran.
Tuhan tidak memerlukan pembelaan. Tapi manusia memerlukan pemahaman. Karena selama kita menempatkan Tuhan di kursi terdakwa, kita tidak akan pernah sembuh dari luka yang kita buat sendiri.
Tuhan bukan dalang dari setiap derita; Ia adalah tangan yang diam-diam menopang agar kita tak jatuh lebih dalam.
Mungkin, saat kita berhenti bertanya “Mengapa Tuhan membuatku menderita?” dan mulai bertanya “Apa yang bisa aku ubah dari diriku?”, di situlah proses penyembuhan sejati dimulai.
Tuhan tidak pernah bersalah. Tapi Ia begitu sabar menunggu manusia berhenti menuduh-Nya — agar bisa kembali merangkulnya.

No comments:
Post a Comment