Pendidikan Islam tidak hanya sekadar proses transfer ilmu, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai spiritual, etika, dan tujuan hidup yang lebih luas. Dalam memahami pendidikan Islam secara mendalam, filsafat memiliki peran penting sebagai landasan berpikir yang membentuk konsep, metode, dan tujuan pendidikan itu sendiri.
Filsafat pendidikan Islam dapat dikaji melalui tiga cabang utama filsafat,
yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ontologi membahas hakikat
pendidikan dalam Islam—apa esensinya dan bagaimana manusia serta ilmu
diposisikan dalam kerangka Islam. Epistemologi menyoroti bagaimana ilmu
diperoleh dalam pendidikan Islam, baik melalui wahyu, akal, maupun pengalaman.
Sementara itu, aksiologi membahas nilai dan tujuan pendidikan Islam, yaitu
bagaimana pendidikan membentuk akhlak, keadilan, dan kesejahteraan dalam
kehidupan individu maupun masyarakat.
Melalui tulisan ini, kita akan mengupas bagaimana ketiga cabang filsafat
tersebut menjadi dasar dalam merumuskan sistem pendidikan Islam yang tidak
hanya menekankan pada pengetahuan, tetapi juga pembentukan karakter dan
kesadaran spiritual. Dengan pemahaman ini, diharapkan kita dapat melihat
pendidikan Islam sebagai proses yang utuh dan bermakna dalam membentuk insan
yang berilmu, beriman, dan berakhlak.
1. Ontologi dalam Filsafat Pendidikan
Islam
Ontologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang hakikat keberadaan atau
realitas. Dalam pendidikan Islam, ontologi berkaitan dengan pemahaman tentang hakikat manusia, tujuan hidup manusia, dan sumber ilmu.
Hakikat Manusia dalam Islam
Dalam Islam, manusia dipandang sebagai makhluk ciptaan Allah yang
memiliki dimensi jasmani dan ruhani. Manusia diciptakan dengan tujuan tertentu,
diberi potensi akal dan hati, serta diberi kebebasan dalam memilih jalan
hidupnya. Pemahaman tentang hakikat manusia dalam Islam dapat dikaji dari
beberapa aspek utama, yaitu asal-usul penciptaan, sifat dan fitrah manusia,
serta tujuan keberadaannya di dunia.
Asal-usul Penciptaan Manusia
Al-Quran memberikan penjelasan bahwa manusia diciptakan oleh Allah dari tanah dan diberi ruh sebagai bentuk
kesempurnaan ciptaan-Nya. Hal ini disebutkan dalam surat Al Mu'minun ayat 12:
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati
(berasal) dari tanah." (QS. Al-Mu’minun: 12)
Selain itu, dalam hadits Rasulullah SAW disebutkan bahwa manusia pertama,
yaitu Nabi Adam AS, diciptakan dari tanah:
"Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dari genggaman yang diambil-Nya
dari seluruh tanah di bumi, maka anak cucu Adam datang sesuai dengan tanah itu,
ada yang merah, putih, hitam, dan di antara itu..." (HR. Abu Dawud No.
4693, Tirmidzi No. 2955, dan Ahmad No. 23627, shahih menurut Al-Albani)
Ayat dan hadits ini menunjukkan bahwa manusia memiliki asal-usul dari
unsur fisik (tanah), tetapi juga memiliki dimensi ruh yang diberikan langsung
oleh Allah.
Sifat dan Fitrah Manusia
Islam mengajarkan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan fitrah, yaitu
kecenderungan untuk mengenal dan mengabdi kepada Allah. Fitrah ini disebutkan
dalam Al-Qur’an:
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam);
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada perubahan pada fitrah Allah." (QS. Ar-Rum: 30)
Namun, meskipun manusia memiliki fitrah untuk beriman, mereka juga
diberikan kebebasan untuk memilih antara kebaikan dan keburukan. Allah
berfirman:
"Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebaikan dan keburukan)." (QS. Al-Balad:10)
Hadits juga menegaskan bahwa setiap manusia lahir dalam keadaan fitrah,
tetapi lingkungan dan pendidikan yang akan membentuknya:
"Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci dan cenderung
kepada Islam), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani,
atau Majusi." (HR. Bukhari No. 1358 dan Muslim No. 2658)
Tujuan Keberadaan Manusia di Dunia
Dalam Islam, manusia memiliki tugas utama sebagai hamba Allah ('abdullah) dan khalifah (khalifatullah) di bumi. Tujuan
utama penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah sebagaimana
firman-Nya:
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
beribadah kepada-Ku." (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Selain itu, manusia juga diberikan amanah untuk menjadi khalifah, yaitu
pemimpin yang bertanggung jawab atas kehidupan di bumi:
"(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.'" (QS. Al-Baqarah: 30)
Rasulullah SAW juga menegaskan bahwa manusia bertanggung jawab atas
kepemimpinannya di dunia:
"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya." (HR. Bukhari No. 893
dan Muslim No. 1829)
Memahami tujuan penciptaan manusia, mengapa ia berada di bumi dan bagaimana mewujudkan peran manusia melalui pendidikan, pemahaman ontologi dalam Islam menegaskan bahwa manusia harus memperoleh pendidikan dari sumber ilmu yang benar yang tidak hanya bersifat duniawi, tetapi juga ukhrawi, sehingga terjadi keseimbangan antara aspek material dan spiritual.
2. Epistemologi dalam Filsafat
Pendidikan Islam
Epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang hakikat,
sumber, dan cara memperoleh pengetahuan. Dalam Islam, epistemologi tidak hanya
berfokus pada aspek rasionalitas, tetapi juga memasukkan dimensi spiritual yang
berlandaskan wahyu. Islam memberikan pandangan yang khas mengenai bagaimana
manusia mengetahui sesuatu, dari mana sumbernya, dan bagaimana cara
memperolehnya.
Sumber Pengetahuan dalam Islam
Dalam Islam, sumber pengetahuan utama terbagi menjadi tiga, yaitu 1) wahyu atau (naqli), 2) Akal (aql), dan 3) indra atau pengalaman
Wahyu (Naqlī) – Ilmu yang Bersumber
dari Allah
Pengetahuan tertinggi dalam Islam berasal dari wahyu yang disampaikan Allah kepada manusia melalui para nabi. Wahyu merupakan sumber ilmu yang absolut dan tidak terbantahkan, karena berasal dari Allah yang Maha Mengetahui. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat An Najm ayat 3-4)
Wahyu dalam Islam tercermin dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Al-Qur’an sebagai
kalamullah adalah petunjuk utama dalam segala aspek kehidupan, sedangkan hadits
berfungsi menjelaskan, menafsirkan, dan mengaplikasikan ajaran yang terkandung
dalam Al-Qur’an.
Akal (‘Aqlī) – Ilmu yang Diperoleh
dengan Berpikir
Islam tidak menafikan peran akal dalam memperoleh pengetahuan. Bahkan, Al-Qur’an berulang kali mendorong manusia untuk berpikir, merenung, dan menggunakan akalnya untuk memahami alam semesta dan kebenaran. Banyak ayat dalam Al Quran yang menyatakan pentingnya manusia menggunakan akal dan menggunakan kemampuan berpikir. Di antaranya dalam surat Ali Imran ayat 190 Allah berfirman:
Rasulullah SAW juga menekankan pentingnya akal dalam menuntut ilmu:
"Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim."
(HR. Ibnu Majah No. 224, dinilai shahih oleh Al-Albani)
Akal berfungsi sebagai alat untuk memahami wahyu, menalar hukum-hukum
Islam, dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Namun, dalam Islam, akal harus tetap
sejalan dengan wahyu, karena keterbatasan manusia dalam memahami realitas
secara keseluruhan.
Indra dan Pengalaman (Empiris) –
Ilmu yang Diperoleh melalui Observasi
Islam mengakui bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalaman dan observasi inderawi. Alam semesta diciptakan sebagai tanda-tanda kebesaran Allah yang bisa dipelajari melalui pengamatan dan eksperimen. Dalam surat Adz-Dzariyat ayat 20-21 Allah berfirman:
"Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi
orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak
memperhatikan?"
(QS. Adz-Dzariyat: 20-21)
Dengan metode ini, umat Islam terdorong untuk melakukan penelitian
ilmiah, mengembangkan sains dan teknologi, serta menggali manfaat dari ciptaan
Allah.
2. Hakikat Pengetahuan dalam Islam
Hakikat pengetahuan dalam Islam bersumber dari Allah, bersifat
komprehensif, dan memiliki tujuan yang jelas. Beberapa karakteristik utama
hakikat ilmu dalam Islam adalah:
- Ilmu Bersumber dari AllahSemua pengetahuan pada hakikatnya adalah milik Allah, dan manusia hanya bisa mengetahuinya sejauh yang diizinkan oleh-Nya.
"Dan mereka tidak mengetahui
sesuatu apa pun dari ilmu-Nya melainkan apa yang Dia kehendaki." (QS. Al-Baqarah: 255)
- Ilmu Harus Mengarah kepada Kebaikan dan KebenaranIlmu dalam Islam bukan sekadar alat untuk memperoleh manfaat duniawi, tetapi juga harus membawa manusia lebih dekat kepada Allah.
- Keseimbangan antara Ilmu Dunia dan Ilmu AkhiratIslam tidak membatasi ilmu hanya pada aspek agama atau spiritual, tetapi juga mendorong pengembangan ilmu duniawi selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
3. Cara Memperoleh Pengetahuan dalam
Islam
Bagaimana seorang Muslim memperoleh pengetahuan? Ada tiga metode utama dalam Islam yaitu 1) ta'lim, 2) tafakur, dan 3) Tajribah.
Ta’lim (Belajar dari Guru atau
Kitab)
Menuntut ilmu dari orang yang lebih berilmu adalah metode utama dalam
Islam. Rasulullah SAW sendiri adalah guru terbaik bagi para sahabatnya.
Seorang Muslim dianjurkan untuk belajar dari guru yang memiliki sanad
(rantai keilmuan yang sah), sehingga ilmu yang diperoleh bersumber dari ajaran
yang benar.
Tafakkur dan Taddabur (Merenung dan
Menganalisis)
Islam menekankan pentingnya berpikir kritis dan mendalam dalam memahami ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu duniawi. Dalam surat Al ghasiyah 1yat 17-20 Allah berfirman:
Ayat ini mengajarkan manusia untuk berpikir dan merenungkan ciptaan Allah
sebagai sumber pengetahuan.
Tajribah (Eksperimen dan Pengalaman
Langsung)
Islam juga mengajarkan bahwa ilmu bisa diperoleh melalui pengalaman,
penelitian, dan percobaan. Oleh karena itu, umat Islam terdorong untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sejarah mencatat bahwa banyak ilmuwan Muslim di masa kejayaan Islam yang
menggunakan metode ini, seperti Ibnu Sina dalam kedokteran dan Al-Khawarizmi
dalam matematika.
dari uraian di atas dapat dipahami bahwa epistemologi dalam Islam memiliki landasan yang kuat dengan sumber ilmu yang berasal dari wahyu, akal, dan pengalaman. Hakikat ilmu dalam Islam adalah ilmu yang membawa manfaat dan mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan cara memperoleh ilmu bisa melalui belajar dari guru, merenung, dan melakukan eksperimen.
Islam mendorong umatnya untuk terus menuntut ilmu, sebagaimana sabda
Rasulullah SAW:
"Carilah ilmu dari buaian hingga liang lahat."
(HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, No. 1601, dinilai hasan oleh Al-Albani)
Dengan memahami epistemologi Islam, kita dapat menyeimbangkan antara ilmu
dunia dan akhirat, serta membangun peradaban yang berlandaskan keimanan dan
ilmu pengetahuan.
Pendidikan Islam mengembangkan epistemologi yang holistik, di mana ilmu
tidak hanya diperoleh melalui observasi dan rasionalitas, tetapi juga melalui
keyakinan kepada wahyu. Oleh karena itu, sistem pendidikan Islam tidak
memisahkan antara ilmu agama dan ilmu umum, melainkan mengintegrasikan keduanya
dalam satu kesatuan ilmu yang bersumber dari Allah.
3. Aksiologi dalam Filsafat Pendidikan
Islam
Aksiologi berkaitan dengan nilai dan tujuan pendidikan. Dalam pendidikan Islam,
nilai-nilai utama yang menjadi landasan aksiologi adalah:
- Nilai Ketuhanan
(Tauhid): Pendidikan bertujuan untuk membentuk manusia yang bertakwa dan
memiliki kesadaran spiritual yang tinggi.
- Nilai Etika dan
Moral: Pendidikan Islam menekankan akhlak mulia sebagaimana yang
dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.
- Nilai
Kemanusiaan: Pendidikan harus membentuk individu yang memiliki kepedulian sosial
dan tanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat.
Dari perspektif aksiologi, pendidikan Islam tidak hanya berorientasi pada
pencapaian intelektual, tetapi juga pembentukan karakter dan moral yang sesuai
dengan ajaran Islam.
Kesimpulan
Dalam Filsafat Pendidikan Islam, ontologi menjelaskan tentang
hakikat manusia dan ilmu, epistemologi membahas cara memperoleh ilmu yang
bersumber dari wahyu, akal, dan pengalaman, sedangkan aksiologi menekankan
nilai-nilai pendidikan yang berorientasi pada tauhid, akhlak, dan kemaslahatan
manusia. Ketiga aspek ini membentuk kerangka pendidikan Islam yang holistik dan
integral.
No comments:
Post a Comment