Baru-baru ini, dalam podcast di kanal YouTube Abu Marlo, terdapat diskusi menarik yang melibatkan Kumaila, yang akrab disapa Mela. Dalam percakapan tersebut, Mela mengungkapkan bahwa dirinya berasal dari keluarga religius, dengan ibunya adalah seorang penghafal Al-Qur'an. Hal ini menjadikan kultur Islam sangat kental dalam kehidupannya. Sejak sekolah dasar, Mela sudah mulai menghafal Al-Qur'an dan melanjutkan pendidikan di pesantren.
Namun, dalam diskusi tersebut, Mela mengungkapkan penyesalan terkait pengalamannya menghafal Al-Qur'an. Ia merasa tidak mendapatkan manfaat signifikan dari aktivitas tersebut. Menurutnya, kemampuan menghafal, termasuk menghafal Al-Qur'an, hanyalah salah satu kemampuan kognitif tingkat rendah. Mela juga menyoroti bagaimana kemampuan menghafal Al-Qur'an sering digunakan sebagai alat promosi oleh beberapa pihak. Selain itu, ia mempertanyakan budaya di masyarakat yang memberikan keistimewaan kepada para penghafal Al-Qur'an, bahkan hingga meminta doa atau keberkahan dari mereka.
Salah satu poin yang disampaikan Mela adalah saat seseorang bertanya tentang tips mudah menghafal Al-Qur'an, ia selalu mempertanyakan tujuan dari kegiatan tersebut. Baginya, menghafal Al-Qur'an adalah membeo, seperti menirukan kata-kata tanpa memahami artinya, sesuatu yang dianggapnya tidak masuk akal. Ia berpendapat bahwa menghafal hanya demi hafalan semata tidaklah memiliki manfaat nyata.
Meski demikian, pemikiran Mela merupakan hak pribadinya dan tidak harus dianggap lebih benar atau lebih baik dibanding pandangan mereka yang menjunjung tinggi aktivitas menghafal Al-Qur'an. Setiap individu memiliki landasan pemikiran yang membentuk tindakan mereka. Namun demikian saya pun memiliki pandangan yang bisa jadi berbeda dengan pemikiran Mela, sesuatu hak pribadi juga.
Pertama bahwa Taksonomi Bloom menawarkan kerangka klasifikasi untuk memahami dan mengukur tingkat kecerdasan atau kemampuan berpikir, khususnya dalam domain kognitif, yang terbagi ke dalam enam tingkatan hierarkis. Tingkatan ini dimulai dari kemampuan berpikir paling sederhana hingga paling kompleks. Pada tahun 2001, taksonomi ini direvisi oleh Anderson dan Krathwohl menjadi: 1) Mengingat (Remembering), 2) Memahami (Understanding), 3) Menerapkan (Applying), 4) Menganalisis (Analyzing), 5) Mengevaluasi (Evaluating), dan 6) Mencipta (Creating). Hasil pemikiran ini, yang didukung oleh berbagai penelitian dan pengujian, merupakan kontribusi luar biasa bagi dunia pendidikan. Namun, dalam praktiknya, keenam tingkatan ini tidak dapat berdiri sendiri, melainkan saling terkait dan perlu dipahami secara utuh.
Dengan kata lain, kemampuan kognitif paling tinggi yaitu creating atau mencipta, tidak mungkin dikuasai tanpa terlebih dahulu memiliki kemampuan mengingat, apakah mengingat nama, sifat, karakter suatu benda, atau suatu peristiwa, kemudian memahami dan seterusnya. Adalah suatu hal yang mustahil seseorang memahami sesuatu tanpa terlebih dahulu mengingat, demikian pula tidak mungkin seseorang dapat menerapkan bahkan mencipta suatu kreasi tanpa kemampuan mengingat dan memahami. Dengan demikian mengingat adalah kemampuan kognitif mendasar yang sama pentingnya dengan kemampuan lainnya, bahkan kemampuan mengingat menjadi dasar bagi kemampuan yang lebih tinggi.
Kedua, tanpa bermaksud membandingkan dengan ayat Al-Quran, pada praktiknya jika diibaratkan dengan mengingat rumus luas adalah panjang kali lebar, atau rumus kimia NaCl, Fe, atau rumus relativitas adalah E=MC2, pasal-pasal Undang-Undang, KUHP dan sebagainya adalah kemampuan mengingat yang menjadi dasar bagi suatu tindakan. Tidaklah berarti bahwa mereka yang menghafalkan rumus-rumus tersebut memiliki kecerdasan tingkat rendah. Maka sebagai way of life, sumber hukum utama bagi umat Islam, Al-Quran sangat penting dan layak untuk dihafal atau diingat sebagai dasar dari suatu tindakan atau keputusan.
Ketiga, bahwa kemampuan mengingat adalah kemampuan kognitif paling mendasar, maka hal yang tidak salah apabila Al-Quran dihafalkan sejak anak usia dini. Bukan untuk menciptakan manusia-manusia dengan kemampuan membeo, melainkan merupakan langkah awal untuk meningkatkan kemampuan kognitif berikutnya seiring waktu mereka beranjak dewasa. Pada akhirnya implementasi hafalan ayat-ayat Al-Quran menjadi dasar penentu suatu tindakan yang hal itu menunjukkan pemahaman, bahkan menjadi dasar menentukan suatu hukum sebagai bentuk kecerdasan mencipta yang mungkin belum pernah ditentukan hukumnya oleh para ulama terdahulu.
Keempat, jika kita melarang anak-anak menghafal ayat-ayat Al-Quran dengan alasan melatih mereka kecerdasan tingkat rendah, ataupun menertawakan orang dewasa yang menghafal al-Quran sebagai kitab sucinya, sejarah telah membuktikan bahwa kitab-kitab suci yang tidak diingat oleh ummatnya, tidak diwariskan dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi dalam tingkat orisinalitasnya yang tinggi, sampai saat ini kita dapat mempertanyakan otentisitasnya.
Dan kelima, jika Anda menitipkan sesuatu apakah itu harta ataupun anak, atau sesuatu yang penting kepada orang lain, dan orang yang kita titipi sesuatu yang berharga itu menjaganya dengan baik dan sekuat tenaga, maka tentu kita akan sangat menghargai apa yang dia lakukan. Terlebih lagi ayat-ayat Al-Quran tidak dapat dibantah lagi adalah kalamulloh, firman Allah, surat cinta dari Allah yang nyawa kita dalam genggamanNya, serta langit dan bumi dalam kontrolNya. Tentu saja para penghafal Al-Quran adalah para penjaga firman Allah layak mendapatkan tempat yang mulia di sisi-Nya sebagaimana janji Allah, Tuhan semesta alam yang tentu saja Dia tidak akan pernah ingkar janji.
Pertanyaannya adalah who is the Bos? Who is the real Bos?
No comments:
Post a Comment